Ingatkah
kamu sedari kita masuk sekolah dasar hal mendasar yang diajarkan oleh guru kita
dan untuk diingat adalah Pancasila. Dihafalkan dengan sepenuh hati dan
sekencangnya setiap teringat, saat di sekolah sampai di rumah juga menghafal untuk
membuat orang tua senang. Bahkan ada beberapa orang sampai saat ini masih ada
yang belum hafal Pancasila, khususnya di sila keempat. Hayo ngaku kamu salah
satunya bukan yang tidak hafal keseluruhan sila Pancasila?
Tahukah kamu
kenapa tanggal 1 Juni sekarang dikenal dengan Hari Kelahiran Pancasila? Dari
berbagai sumber yang kurangkum, Hari Kelahiran Pancasila bisa muncul karena
adanya Pidato dari Soekarno. Soekarno menyampaikan pidato yang berjudul “Lahirnya
Pancasila” yang disampaikan dalam sidang
Dokuritsu Junbi Cosakai yang artinya dalam bahasa Indonesia sebagai Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945.
Megawati Soekarno Putri sempat
mengusulkan untuk memperingati tanggal 1 Juni sebagai hari nasional pada masa
pemerintahan SBY, Tanggal 1 Juni baru diresmikan sebagai hari libur nasional di
tahun 2017 oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Lalu apa bedanya dengan Hari
Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober? Tanggal 1 Oktober menjadi Hari
Kesaktian Pancasila karena Pancasila memiliki kesaktian yang tak dapat di
gantikan oleh paham apapun setelah tragedi G30SPKI.
Pancasila
hingga menjadi seperti sekarang ini mengalami proses dan pemikiran yang panjang
untuk bisa menyatukan Indonesia dengan segala keberagamannya. Apakah kamu
sendiri sudah memaknai dan menerapkan Pancasila dalam kehidupanmu? Mengingat
Indonesia dihuni oleh beragam suku, agama, ras dan golongan menjadi sila ketiga
sebuah perjuangan untuk diterapkan.
PANCASILA
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna Pancasila dalam Kehidupanku
Makna
Pancasila dalam hidup aku sebenarnya tanpa terasa sudah kujalani sejak kecil.
Ayahku beragama Katholik saat aku lahir dan ibuku seorang muslim. Sewaktu kecil
aku merasakan keberagaman itu dan bisa dibilang juga kedua orangtuaku tidak
sedikitpun memaksaku untuk memilih sendiri agamaku. Saat kecil aku mempunyai
anjing dan turut serta mendirikan pohon natal untuk ayahku ketika bulan
Desember tiba. Berkat didikan ayah yang Katholik yang konon terkenal akan
didikan disiplinnya itu kualami hingga aku tumbuh sekarang. Aku menjadi
terbiasa ontime, terjadwal, dan teroganisir akan segala sesuatunya.
Ketika
akhirnya aku memilih menjadi seorang muslim pun itu terjadi tanpa paksaan. Aku belajar
mengaji, menjalani sholat, dan puasa sebagaimana muslim lakukan. Aku bangga
menjadi seorang muslim dan aku bangga memiliki orangtua yang beragam. Berkat
mereka aku bisa menerima keberagaman pada orang lain dan di sekelilingku. Saat
tinggal di Bali pun aku menghargai perbedaan dengan memahami makna dari canang
(persembahan di agama Hindu Bali) yang mereka buat. Di satu sisi terselip sedih
saat itu, semakin aku belajar ilmu agamaku semakin aku tahu bahwa susah untuk
mendoakan orang tua yang berbeda agama dan tidak bisa memberi penghormatan
terakhir ketika mereka meninggal. Sedih tak terhingga sempat kurasa. Hingga
akhirnya ayahku menjadi mualaf dua tahun lalu, bahagia dan bersyukur Allah
menunjukkan jalan.
Film LIMA dan Pancasila
Film
berjudul LIMA yang aku lihat berkat nobar (nonton bareng) bersama Shopback di Djakarta Theater sangat mewakili perasaanku hidup dengan
keberagaman di negara Indonesiaku ini khususnya bersama keluargaku. Film LIMA
disutradai oleh lima sutradara yang berpengalaman yang memberikan cirinya
sendiri dalam tiap scenenya. Kelima sutradara itu Lola Amaria, Shalahuddin
Siregar, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo berkolaborasi
menyatukan ide sesuai sila Pancasila dalam satu benang merah untuk film LIMA. Untuk
nama Lola Amaria sudah diragukan lagi dalam menghayati suatu makna, disini
berperan juga sebagai produser dan sudah lebih dari 10 tahun berpengalaman
lebih dari 10 tahun menjadi sutradara sejak filmnya yang berjudul Betina di
tahun 2006. Ada satu nama lagi yang aku
baru sadar nama itu orangnya aku sudah kenal selama perjalanannya membuat film
dokumenter untuk penyintas 65, yaitu mas Udin atau Shalahuddin Siregar. Yang
aku sangat tahu mas Udin sangat pintar mengambil momen-momen human interest yang mendalam dan mampu
membekas di hati penonton dan itu juga bisa kamu lihat hasilnya dalam film LIMA.
Kisah film
LIMA hampir bisa dibilang mirip dengan kehidupanku bersama orangtua dan kedua
adikku. Tiga bersaudara dengan anak sulung Fara yang diperankan oleh Prisa
Nasution dan kedua adik laki-lakinya yang diperankan oleh Yoga Pratama sebagai Aryo dan Baskara Mahendra
sebagai Adi yang anak bungsu. Dari ketiga bersaudara itu hanya Yoga yang
berbeda agama. Kedua orangtuanya sebelumnya adalah non muslim, yang kemudian
sang Ibu menjadi muallaf, diperankan oleh Tri Yudiman dan ada Bi
Ijah diperankan oleh Dewi Pakis.
Dari awal film dimulai hati penonton sudah diacak-acak
dengan kesedihan. Rumah sakit menjadi awal latar dari film, dimana sang Ibu sakit
dan selang berapa lama kemudian meninggal tak lama keluar dari rumah sakit. Konflik
kecil terjadi karena perbedaan agama untuk mengantarkan kepergian sang Ibu. Di
bagian ini yang sempat terasa banget dengan pilu yang kurasakan sebelumnya
kesusahan hati mendoakan atau mengantar kepergian orangtua yang berbeda agama. “Biarkan
...masuk mengantar Mama ke liang lahat, dosa .. kami yang tanggung”, ujar Fara.
Mengantarkan kepergian (Tagarid) |
Semenjak sang Ibu meninggal, cobaan mulai terasa
dirasakan Fara, Aryo dan Adi. Kekalutan tiada tempat untuk bersandar, hanya ada
bi Ijah sebagai pengganti sosok orangtua dalam rumah. Fara yang bekerja sebagai
pelatih renang profesional sebuah klub yang akhirnya mendapat satu kuota untuk ditempatkan
dalam Asian Games dihadapkan pada dilema. Antara memilih Kevin yang benar-benar
rajin berlatih dan unggul catatannya dengan Andre yang dipilih oleh sponsor.
Rasa ketidak adilan muncul hingga akhirnya Fara yang memutuskan untuk mundur
sebagai pelatih daripada hanya menyiksa batinnya.
Aryo dihadapkan pada cobaan dimana partner bisnisnya
mengkhianatinya dan harus membuatnye memulai dari bawah. Pembagian warisan dari
sang Ibu harus dilakukan seadilnya dan Aryo memilih untuk menabungkan uang
warisan untuk bersama menyekolahkan Adi. Adi pun juga mengalami problemanya,
menghadapi bullyan dan menyaksikan dengan mata sendiri korban maling yang
dibakar hidup-hidup oleh teman yang sering melakukan bully padanya. Adi sempat
trauma dan memberanikan diri melaporkan temannya bukan karena balas dendam tapi
lebih kepada menegakkan kebenaran bagi Adi.
Problema seperti itu pasti ada masanya akan kita hadapi
di saat tiada siapapun untuk berpegang. Peran orangtua sangat penting dalam
membantu psikologis anak menghadapi problemanya. Bagiku kondisi orangtua
meninggal dan bercerai mengakibatkan hal yang serupa pada anak. Bi Ijah juga
mengalami problemanya saat harus meninggalkan Fara, Aryo dan Adi untuk kembali
mengurus kedua sendiri. Problema datang bertubi saat kedua anaknya tertangkap dan
menjalani persidangan yang akhirnya mendapatkan keadilan berkat dukungan Fara,
Aryo dan Adi yang sudah menganggap Bi Ijah sebagai keluarga sendiri.
Film LIMA |
Untuk film LIMA ini Lola Amaria kerap bertemu
dan melakukan konsultasi bersama Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi
Pancasila, Yudi Latief agar penggarapan film LIMA tidak salah arah. Titien
Wattimena alias Tinut dan Sekar Ayu Massie berkolaborasi sebagai penulis
skenario dalam film LIMA. Film LIMA yang berdurasi 110 menit ini menurut aku
epik, sangat bagus dan sangat realistis dengan kondisi Indonesia saat ini. Sangat
terasa Pancasilanya dan human interestnya.
Jadi semangat untuk menghafal dan menerapkan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
ReplyDeletesalam inspirasi,
sesuapnasi