Pada
24 Oktober 2016 lalu, para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) melakukan Aksi Damai bersama. IDI
menyatakan dukungan penuh terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dan ingin memberikan masukan kepada pemerintah agar tercipta perbaikan
sistem kesehatan dan sistem kedokteran yang dianggap berujung kepada perbaikan
kualitas kesehatan di masa depan. Aksi Damai IDI bertepatan dengan HUT IDI yang keenam.
Catatan
yang disampaikan IDI terkait alokasi pembiayaan untuk obat bagi pasien yang
terlalu kecil sehingga menyulitkan dokter untuk memberikan obat dan penanganan
terbaik terutama bagi peserta BPJS dari kalangan rakyat miskin. Untuk hal yang
ini Aku sering menyimak status facebook
beberapa teman yang menjadi dokter juga mengeluhkan hal yang sama. Dokter
merasa sudah maksimal melakukan pelayanan terhadap pasien namun fasilitas serba
dibatasi karena menyesuaikan anggaran.
Ironisnya
banyak masyarakat yang menjadi pasien justru hanya bisa menyalahkan dokter
karena kurangnya pemahaman tentang sistem antara pihak BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) dengan rumah sakit dan dokter. Yang masyarakat
tahu hanya mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dengan menjadi peserta BPJS
dengan membayar bulanan sesuai kelasnya. IDI menganggap pelaksanaan JKN
tersebut juga masih memerlukan harmonisasi kebijakan, sinkronisasi aturan BPJS
dengan standar profesi.
Rumah
sakit (RS) dianggap sering menolak pasien di mata masyarakat. Kondisi
sesungguhnya yang terjadi adalah tidak tersedianya tempat tidur atau kamar yang
kosong untuk digunakan. Minimnya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FTKP)
terutama tempat tidur kosong berpengaruh pada pelayanan kesehatan. Banyak orang
sakit yang akhirnya merasa ditolak RS. Padahal dengan adanya BPJS dan JKN
banyak orang sakit yang tidak mampu berobat mendapatkan kesempatan untuk
diperiksa kesehatannya bahkan disembuhkan dengan gratis.
Pengalaman Keluarga
dengan BPJS
Pengalaman
menggunakan BPJS sudah dirasakan oleh kakak ipar (perempuan dan lajang) yang
menggunakannya pertama kali di tahun 2015 di Puskemas Haji Dogol, Kecamatan
Duren Sawit. Kakak ipar saat itu mempunyai keluhan sakit di perut yang makin
membesar dan mengeras. Singkat cerita, diagnosa awal tumor dan dirujuk ke RS.
Islam Pondok Kopi didagnosa kanker sampai pada akhirnya diagnosa akhir kanker
ovarium di RS. Persahatan, Rawamangun yang mengharuskan operasi pengangkatan
kankernya. Kakak ipar mendapatkan operasi pengangkatan kanker seberat 1,5 kg
yang dilanjutkan pemasangan alat kemo di dekat leher sebelah kanan dan
menjalankan kemo sebanyak 6 kali hingga 2016 awal. Alhamdullilah semua didapatkan gratis dengan
menggunakan BPJS. Meski gratis sistem birokrasinya cukup melelahkan untuk pasien
dan keluarga yang mendampingi. Lebih parahnya lagi meski BPJS gratis, terkadang
pihak RS seperti melupakan kalau peserta BPJS yang merupakan pasien juga
membayar bulanan untuk mendapatkan fasilitas BPJS tersebut. Sikap kurang ramah
dari pihak RS terkadang kami dapatkan seakan kami mengemis layanan kesehatan.
Pihak
dokter dan RS ingin pro rakyat, begitu juga dengan masyarakat baik yang menjadi
peserta JKN atau keluarga pasien ingin merasakan hal yang sama. Memang benar
IDI melakukan Aksi Damai tersebut agar masyarakat juga bisa melihat usaha dan
kerja dokter selama ini banyak yang disalahtafsirkan. Dokter ingin pro rakyat,
karena ilmu yang baik adalah ilmu yang bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Tuhan menitipkan ilmu kedokteran untuk memberi kesehatan melalui tangan dokter.
Pernyataan Sikap IDI
dalam Aksi Damai
Pernyataan
sikap yang dikeluarkan oleh IDI melalui Aksi Damai tersebut, antara lain
menolak Program Studi Dokter Layanan Primer (DLP) dan merekomendasikan untuk
meningkatkan kualitas dokter di pelayanan primer dengan program pendidikan
kedokteran berkelanjutan (P2KB) terstruktur, perbaikan proses akreditasi
pendidikan kedokteran yang akuntabel, adil, dan transparan serta menghadirkan
pendidikan kedokteran yang berkualitas dan terjangkau. Intinya IDI mengingikan
Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan yang Pro Rakyat dan ini
menjadi tema besar dalam Aksi Damai IDI.
Kebayang
nggak sich dokter melakukan aksi damai, kepikiran nggak dokter mana saja yang
ikut aksi, bakalan sepi donk rumah sakit? Ternyata yang bergabung dalam Aksi
Damai IDI adalah para dokter anggoa IDI
yang sedang tidak bertugas di unit pelayanan gawat darurat, ruang perawatan,
ruang operasi dan unit FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama). Dokter di
berbagai daerah juga serentak melakukan aksi damainya mendukung aksi damai di
Jakarta. Lega mendengarnya, karena mau bagaimanapun peran dokter dalam layanan
kesehatan masyrakat cukup besar. Diakui IDI bertanggungjawab untuk menjaga
persatuan dan kesatuan seluruh anggota IDI agar pelayanan kesehatan kepada
masyarakat tidak terganggu. Yang kami perjuangkan disini bukan masalah
kepentingan dokter, tetapi yang kami perjuangkan adalah kepentingan rakyat.
Kita disini bicara tentang sistem kesehatan dan reformasi di bidang pendidikan
kedokteran yang pro-rakyat," ujar Sekjen IDI, Dr Adib Khumaidi SpOT dalam
Konferensi Pers Aksi Damai IDI di Kantor PB IDI, Senin (24/10). Mari kita
doakan saja sistem pelayanan kesehatan bisa baik untuk semua pihak.-RGP-
Comments
Post a Comment